Maros, Detikzone.net- Mafia tanah kembali memakan korban. Kali ini masyarakat Desa Temapadue, Kampung Bulu- Bulu, Kecamatan Maros Baru Kabupaten Maros. Selasa, 28/03/2023.
Kesal lahan miliknya belum dibayar yang layak oleh pihak panitia Rel kereta Api Maros, warga Desa Temapadue memblokade dengan Spanduk bertuliskan ‘Pak Jokowi, pihak rel kereta api rampas tanah kami tanpa ganti rugi yang adil dan layak, kami dimiskinkan’.
Saat ini, mereka menuntut harga Lahan miliknya yang sesuai.
Menurut Hj. Rahmawati dan kawan kawan , tanah warga yang bersertifikat itu dirampas Panitia Pembebasan lahan Rel kereta api Maros Sulawesi Selatan.
Kepada media ini Hj. Karmila mengatakan, Lahan miliknya bersertifikat Hal milik No. 591 yang jaraknya tidak jauh dari stasiun kereta api seluas 8 Are.
“Saya dari Rapat pertama saya ikutin terus, kami akan di ganti untung kenyataannya tidak ada, tidak ada sosialisasi harga, tidak pernah pembicaraan harga, kami hanya dipanggil ke kantor desa untuk mengumpulkan berkas, tiba tiba langsung ada harga yang tidak sepantasnya,” jelasnya.
Ia pun berharap agar lahan miliknya dibayar dengan harga yang layak.
“Lahan saya dibayar murah seharga Rp 94 Ribu, sementara lahan milik warga lain yang tidak jauh dari lokasinya dibayar Rp 2 juta permeter,” ungkapnya.
Dirinya menjelaskan, dugaan praktik mafia tanah terjadi pada dirinya dan warga lainnya ketika sertifikat hak milik tanah yang dimiliki masyarakat di Rampas oleh panitia pembebasan Lahan Rel kereta api Maros Sulawesi Selatan desa, dengan dalih akan diganti untung.
“Tanah saya kelas 1 pak pinggir jalan, tolong kami,” ucapnya.
Sementara, Kadiv Humas Balai perkereta Apian Sul-Sel (BPKASS), Ryan Agastiaguna saat dikonfirmasi melalui WhatshApp perihal harga, pihaknya tidak mengetahuinya secara detail.
“Karena itu ada wilayah appraisal bukan ketentuan kami mas. Tugas kementerian perhubungan dalam hal ini balai adalah membangun dan untuk pembayaran juga itu ada LMAN berdasarkan perintah BPN yang mengeluarkan dasar hukum untuk pembayarannya,” ungkapnya .
Sebenarnya, lanjut dia, mengenai ketidaksetujuannya terhadap harga, masyarakat tinggal menggugat di pengadilan negeri dan itu jelas di fasilitasi oleh negara.
“Seandainyapun memang gugatan masyarakat benar harga tersebut tidak pantas maka negara harus membayar sewajarnya,”